Contemporary Art is one of the affected branch of art that means modernisasi.Kontemporer impact of contemporary, modern or rather is the same thing with the same conditions or the time today. So contemporary art is art that is not bound by the rules of the past and developing appropriate today. Contemporary paintings are thematic work reflects the current situation through time. For example the painting that is no longer tied to the Rennaissance. So did the dance, more creative and modern.
The word "contemporary" is derived from the word "co" (together) and "tempo" (time). Thus asserted that contemporary art is the work of the thematic reflect the current situation through time. Or the notion that "contemporary art is art that is against the tradition of Western modernism". This is a development of postmodern discourse and postcolonialism are trying to raise the appearance of indegenous art discourse. Or a local art treasures that became a place to live (state) of the artists.
In layman contemporary art can be interpreted as follows:
1. The absence of insulation between the various disciplines of art, aka melting the boundaries between painting, sculpture, graphics, craft, theater, dance, music, anarchy, nonsense, to political action.
2. Got a passion and desire "moralistic" related to social and political dimensions as a thesis.
3. Art media interest tends to be pewacanaan commodities, as the actuality of the fashionable news.
Contemporary art and art posmodern
Linkages and contemporary art (art) postmodern, according to Amir Piliang Yasraf view, observers of art, understanding of contemporary art is art made today, so do with time. While postmodern art is the art of collecting new idioms. More details to say that not all contemporary art (contemporary) that can be categorized as art posmodern, posmodern own art on the one hand give the sense, picked up the past but on the other side also leapt to the fore (is futurist).
The development of Indonesian contemporary art
In the Indonesian art, contemporary terms appeared early 70's, when Gregory Sidhartha use the term to name the exhibition of contemporary sculpture at that time. Wisetrotomo Suwarno, an observer of art, argues that contemporary art is the basic concept of the liberation effort contracts that have been standard assessment or may be considered obsolete.
The concept of modernization has penetrated all areas of contemporary art at this. Most strikingly visible in the field of dance and painting. Traditional dances began excluded from television shows and is only in the event that is a ceremony or ceremonial.
As disclosed Market Relations in Contemporary Dance Dance Training Center (PLT) Pekanbaru Admiral Studios are not only interested in the dance choreographers in the country but also foreign dance choreographers who come from abroad. A total of 18 dance choreographers both from within and outside the country expressed readiness to show skill in the contemporary dance market. "The choreographer has arrived in Pekanbaru, they expressed readiness to show skill in the dance market," said PR Market Contemporary Dance, Yoserizal Zen in Pekanbaru [1].
More contemporary paintings skyrocketed along with the increasing residential minimalist concept, especially in big cities. As stated by a contemporary artist from the gallery Saptoadi Nugroho Seven Star Art Space of Yogyakarta, "Contemporary Painting increasingly in demand as the outbreak of the housing concept is minimalist, especially in big cities. It would be difficult to accept when you install landscape painting, for example, while the concept of modern office interior. "[2]
Similar things revealed by the collector of contemporary painting, "I collect paintings for the love of art. Even if its value rises, that's a bonus," said Oei Hong Djien, collector and curator of the famous painting of Magelang. Similarly Biantoro Santoso, collector and owner of the painting Nadi Gallery. "I bought because I liked. Although the price does not rise, no problem," he added.
Oei and Biantoro never sell his collection. Oei choose to display more than 1,000 framed paintings in his private museum. Great works of Affandi, Basuki Abdullah, Lee Man Fong, Sudjojono, Hendra Gunawan, and Widayat posted there with the works of young painters.
Another opinion from Yustiono, faculty FSRD ITB, seeing that contemporary art in Indonesia did not escape the outbreak of the issue posmodernisme (late 1993 and early 1994), which sparked widespread debate and discussion both in seminars and in the media at that time.
Indonesian Version:
Seni Kontemporer adalah salah satu cabang seni yang terpengaruh dampak modernisasi.Kontemporer itu artinya kekinian, modern atau lebih tepatnya adalah sesuatu yang sama dengan kondisi waktu yang sama atau saat ini. Jadi Seni kontemporer adalah seni yang tidak terikat oleh aturan-aturan zaman dulu dan berkembang sesuai zaman sekarang. Lukisan kontemporer adalah karya yang secara tematik merefleksikan situasi waktu yang sedang dilalui. Misalnya lukisan yang tidak lagi terikat pada Rennaissance. Begitu pula dengan tarian, lebih kreatif dan modern.
Kata “kontemporer” yang berasal dari kata “co” (bersama) dan “tempo” (waktu). Sehingga menegaskan bahwa seni kontemporer adalah karya yang secara tematik merefleksikan situasi waktu yang sedang dilalui. Atau pendapat yang mengatakan bahwa “seni rupa kontemporer adalah seni yang melawan tradisi modernisme Barat”. Ini sebagai pengembangan dari wacana postmodern dan postcolonialism yang berusaha membangkitkan wacana pemunculan indegenous art. Atau khasanah seni lokal yang menjadi tempat tinggal (negara) para seniman.
Secara awam seni kontemporer bisa diartikan sebagai berikut:
1. Tiadanya sekat antara berbagai disiplin seni, alias meleburnya batas-batas antara seni lukis, patung, grafis, kriya, teater, tari, musik, anarki, omong kosong, hingga aksi politik.
2. Punya gairah dan nafsu "moralistik" yang berkaitan dengan matra sosial dan politik sebagai tesis.
3. Seni yang cenderung diminati media massa untuk dijadikan komoditas pewacanaan, sebagai aktualitas berita yang fashionable.
Seni kontemporer dan seni posmodern
Kaitan seni kontemporer dan (seni) postmodern, menurut pandangan Yasraf Amir Piliang, pemerhati seni, pengertian seni kontemporer adalah seni yang dibuat masa kini, jadi berkaitan dengan waktu. Sedangkan seni postmodern adalah seni yang mengumpulkan idiom-idiom baru. Lebih jelasnya dikatakan bahwa tidak semua seni masa kini (kontemporer) itu bisa dikategorikan sebagai seni posmodern, seni posmodern sendiri di satu sisi memberi pengertian, memungut masa lalu tetapi di sisi lain juga melompat kedepan (bersifat futuris).
Perkembangan seni kontemporer Indonesia
Dalam seni rupa Indonesia, istilah kontemporer muncul awal 70-an, ketika Gregorius Sidharta menggunakan istilah kontemporer untuk menamai pameran seni patung pada waktu itu. Suwarno Wisetrotomo, seorang pengamat seni rupa, berpendapat bahwa seni rupa kontemporer pada konsep dasar adalah upaya pembebasan dari kontrak-kontrak penilaian yang sudah baku atau mungkin dianggap usang.
Konsep modernisasi telah merambah semua bidang seni ke arah kontemporer ini. Paling menyolok terlihat di bidang tari dan seni lukis. Seni tari tradisional mulai tersisih dari acara-acara televisi dan hanya ada di acara yang bersifat upacara atau seremonial saja.
Seperti diungkapkan Humas Pasar Tari Kontemporer di Pusat Latihan Tari (PLT) Sanggar Laksamana Pekanbaru yang tidak hanya diminati para koreografer tari dalam negeri tetapi juga koreografer tari asing yang berasal dari luar negeri. Sebanyak 18 koreografer tari baik dari dalam maupun luar negeri menyatakan siap unjuk kebolehan dalam pasar tari kontemporer tersebut. "Para koreografer sudah tiba di Pekanbaru, mereka menyatakan siap unjuk kebolehan dalam pasar tari itu," ujar Humas Pasar Tari Kontemporer, Yoserizal Zen di Pekanbaru[1].
Lukisan kontemporer semakin melejit seiring dengan meningkatnya konsep hunian minimalis, terutama di kota-kota besar. Seperti diungkapkan oleh seniman lukis kontemporer Saptoadi Nugroho dari galeri Tujuh Bintang Art Space Yogyakarta, "Lukisan kontemporer semakin diminati seiring dengan merebaknya konsep perumahan minimalis terutama di kota-kota besar. Akan sulit diterima bila kita memasang lukisan pemandangan, misalnya sedangkan interior ruangannya berkonsep modern."[2]
Hal yang senada diungkap oleh kolektor lukisan kontemporer, "Saya mengoleksi lukisan karena mencintai karya seni. Kalaupun nilainya naik, itu bonus," kata Oei Hong Djien, kolektor dan kurator lukisan ternama dari Magelang. Begitu juga Biantoro Santoso, kolektor lukisan sekaligus pemilik Nadi Gallery. "Saya membeli karena saya suka. Walaupun harganya tidak naik, tidak masalah," timpalnya.
Oei dan Biantoro tak pernah menjual koleksinya. Oei memilih untuk memajang lebih dari 1.000 bingkai lukisannya di museum pribadinya. Karya-karya besar dari Affandi, Basuki Abdullah, Lee Man Fong, Sudjojono, Hendra Gunawan, dan Widayat terpampang di sana bersama karya-karya pelukis muda.
Pendapat lain dari Yustiono, staf pengajar FSRD ITB, melihat bahwa seni rupa kontemporer di Indonesia tidak lepas dari pecahnya isu posmodernisme (akhir 1993 dan awal 1994), yang menyulut perdebatan dan perbincangan luas baik di seminar-seminar maupun di media massa pada waktu itu.
No comments:
Post a Comment