Pagi ini, saya nggak sengaja nonton tanya jawab antara salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden tertentu dengan audiens yang hadir. Dan disitu ada salah satu audiens yang nanya gini, "Gimana tanggapan bapak terkait mental health, karena salah satu syarat Indonesia bisa meraih bonus demografi adalah jika secara mental masyarakatnya bisa dikatakan sehat". Jujur ya, saya yang awalnya nonton sambil nyender, sampe agak negapin badan dikit karena pengen tahu jawabannya. Dan disitu pak capres nyeritain tentang diskusinya disalah satu podcast. Dimana ada salah satu penyintas mental health yang bilang gini ke dia, "Pak, kesehatan mentality super serius". Alasannya panjang lah ya. Intinya pak capres, ngasih 3 point utama terkait hal ini:
1. Parenting dirumah
2. Bimbingan konseling disekolah
3. Fasilitas kesehatan mental dari pemerintah
Dan ini sebetulnya yang pengen saya bahas di postingan ini. Dan saya suka ketika dia bilang "kami nggak bisa sendiri". Of course, pola asuh orang tua akan sangat menentukan mental anak. Dan saya nggak akan bahas point yang ini, karena tiap orang tua pasti punya pola asuh yang berbeda yang mereka "anggap baik" untuk anak-anaknya. Yang saya mau bahas adalah point kedua dan ketiga.
Saya inget, ketika sekolah dulu ada mata pelajaran BP/BK di sekolah saya (Budi Pekerti/Bimbingan Konseling), materi pelajarannya hampir-hampir mirip sama PMP/PKN/PPKN or whatever lah ya namanya apa sekarang, cuma fokusnya lebih kepada budi pekerti siswa. Dan biasanya ya, zaman itu kalau ada anak yang berantem disekolah, tawuran, ngerokok di kamar mandi sekolah (macem pak Alkatro pas jek nom), ato ngelanggar tata tertib sekolah ujung-ujungnya mesti masuk ruang BP untuk nerima sanksi dari pak rektor HB7 guru BP. Masalahnya, zaman itu BK alias bimbingan konseling cuma sekedar pelengkap aja. Dan kalau guru BP udah bener-bener lepas tangan siswa biasaya "akan dikembalikan kepada orang tua/wali murid. Nggak tau sih, sekarang gimana. Cuma kalo ngeliat berita tentang maraknya kasus bullying disekolah rasa-rasanya kok yo jek podo ae. Malah makin parah koyoe, aku malah ragu kedepan guru-guru bakal berani negur siswa kalo gini terus. Bener lho, nek zamanku ndisik mbok yo arep di lempar penghapus kayu po di tempeleng guru, nggak no siswa sing wani njawab. Lha sak iki? Telat masuk kelas, ditegur guru dikit langsung lapor bapak'e. Kek wong tuone podo bapere langsung dateng nggowo ketapel po arit ke sekolah. Biyuhhh, nek aku gurune... langsung tak kon ngajar dewe nang ngomah.
Lanjut, dan point ketiga ini menarik. Karena sebelum zaman pak Jokowi fasilitas kesehatan mental yang "bisa dimanfaatkan secara gratis" tuh rasa-rasanya belum ada. Beda sama sekarang, mereka yang perlu konsultasi dengan psikolog atau psikiater tinggal dateng ke puskesmas bawa BPJS, dan kalau sekiranya perlu akan dirujuk ke RS besar untuk ketemu sama psikiater yang praktik di RS tersebut. Dan sejauh yang saya tahu ini gratis. Dan menurut saya, menurut saya lho ya fasilitas kesehatan mental yang ada sekarang udah cukup baik. Justru yang kurang tuh edukasinya. Selama masih ada masyarakat yang beranggapan kalau datang ke psikiater = orang gila/kurang beriman. Sebagus apapun fasilitas kesehatan yang dibuat pemerintah akan tetap sia-sia. Saya kenal dengan beberapa orang yang saya tau mereka ngalamin gangguan mental health, tapi keluarganya berusaha mengatasi masalah ini dengan cara yang salah. Dalam hal ini, keluarganya nggak salah. Karena mereka belum tentu mudheng kalau yang dihadapi sama anggota keluaganya ini adalah gangguan mental health. Karena "bagi mereka", sulit untuk ngebedain mana gangguan mental health dan mana gangguan roh jahat.
So, balik lagi sih ya, point ketiga nggak akan pernah jalan kalau point pertama dan kedua nggak jalan, Dan bener, ujung-ujungnya balik lagi ke pola asuh orang tua. Dimana para orang tua inilah yang mesti bener-bener diedukasi tentang pentingnya mental health. Bahkan kalau bisa, saya sih berharapnya pemerintah bakal ngadain semacam kegiatan check-up rutin agar masyarakat bisa meriksain kesehatan mental mereka.
Itu aja sih...
No comments:
Post a Comment